Aku datang untuk pergi...

Aku datang untuk pergi...

Thursday, January 28, 2016

Maafkan Ummi Sayang...



Tak terasa, kini usiamu sudah hampir mencapai 3 tahun. Engkau membesar menjadi anak yang baik dan soleh. Setiap kali memandangmu, terasa sejuk di hati dan tenang di jiwa. Seperti jolokan nama yang diberikan untukmu, wahai Muhammad.

Senyummu, jenakamu, pertanyaan cerdasmu yang tak henti-henti, bahkan tingkah lincahmu di seluruh penjuru rumah, semua itu membuatkan Umi selalu bangga padamu. 

Namun Anakku, sejujurnya Umi menyedari bahwa Umi ini belumlah menjadi Umi yang ideal untukmu. Bahkan mungkin, jauh dari kata ideal.

Dahulu, saat pertama kali Umi menyedari sedang mengandungkanmu. Tak terhitung berapa kali Umi panjatkan rasa syukur atas kurniaanNya ini. 

Demikian juga saat ingin melahirkanmu. Itulah hari yang sangat Umi nanti-nantikan, dimana Umi akhirnya akan bisa menatap wajahmu, menggendong, dan menyusuimu. 

Tak terhitung saat Umi berdzikir sewaktu bertarung nyawa melahirkanmu lalu memohon pertolongan dari Nya. Namun saat Umi didera kontraksi yang sangat hebat, MasyaAllah... ada kalanya Umi jadi tidak sabar menanggung derita sakit lalu ingin saja cepat-cepat melahirkanmu. Kerana itu, maafkan Umi ya sayang...

Lalu, saat engkau telah lahir ke dunia. Tak terkira rasa syukur Umi diatas anugerah Allah ini. Anakku ini anak yang sihat, gebu dan comel. Dengan penuh kasih sayang, Umi menyusuimu hingga kenyang, lalu dengan hati-hati Umi menyendawakanmu. 

Umi juga tidak keberatan, tiap kali terpaksa ke tandas membersihkan diri kerana lampin bocormu. Saat kotoran hitam itu memenuhi cadar putih hospital. Penatnya bukan main hebat. 

Ketika malam pula kau menolak untuk tidur. Umi tidur-tidur ayam hingga ke pagi walau lelah melahirkanmu masih belum hilang. Begitu juga ketika hampir tiap malam kau minta dipeluk, digendong dan diayun-ayun. Seringkali Umi jadi tidak sabar dan mulai mengeluh berat. Kerananya, maafkan Umi ya sayang…          

Pertumbuhanmu amat pesat sekali. Saat perkataan pertama yang kau sebut itu "umi..." Subhanallah, Umi bangga sekali padamu. Pandainya anak umi! Begitu puji Umi, tiap kali kau menunjukkan kebolehanmu. Namun saat kau mulai semakin lincah, tak bisa diam saat dimandikan dan dipakaikan baju atau seluar. MasyaAllah Umi menghela nafas tanda tidak bisa bersabar. Sekali lagi, maafkan umi ya sayang…

Begitupun saat engkau telah mahir merangkak. Umi terpaksa mengalihkan pelbagai benda-benda yang membahayakanmu, juga semakin teliti membersihkan lantai agar tak ada kotoran yang mengganggu kesihatanmu.  Namun saat engkau ingin bermain dengan barangan perhiasan yang mampu dicapai olehmu, umi mengeluh lagi.  Bukankah seharusnya umi yang lebih prihatin terhadap keselamatanmu? Itu bukan salahmu, itu salah Umi sendiri yang tidak hati-hati menyimpan barang. Kerana itu, maafkan Umi ya sayang… 

Engkau adalah anak yang berbakti pada orang tua. Kau sering menawarkan bantuan, saat Umi menyapu, mengemop lantai, atau hanya menawarkan diri untuk mengacau teko air minuman. Umi tahu kau ingin mencuba segalanya. Kau begitu seronok sekali apabila diberikan peluang itu. 

"Umi, muhammad pandai kan umi?" Begitu katamu saat selesai menolong umi. Kau suka membuat kerja yang diluar kemampuanmu. Membawa pinggan yang penuh dgn nasi dan lauk-pauk. Selalunya habis tumpah ke lantai. Umi selalu rasa hilang sabar dan kerana itu umi membentakmu. Kerana itu maafkan umi ya sayang...

Anakku tersayang, anakku yang berhati lembut, begitu pengertian dan tak banyak menuntut. Saat masih bayi, ketika orang lain menggendongmu, kau menolak. Kau memberontak, kau juga meraung-raung minta digendong oleh Umi mu saja. Saat itulah Umi baru menyedari bahawa tatapanmu mengatakan “Aku ingin digendong Umi saja”. Maka saat umi kembali meraihmu, kau tertawa, riang sekali.

Sejak saat itu Umi belajar, bahwa Umi harus lebih, lebih dan lebih memahamimu. Dari kata-kata yang kau ucapkan, dari bahasa tubuhmu, terkadang menyimpan maksud tersirat yang sulit untuk kau ungkapkan secara terus. 

Anakku sayang, Umi ingin kamu tahu sayang, bahwa tiap kali kau sakit atau terluka, meski hanya sekedar selsema, demam atau terjatuh. Semua itu meninggalkan rasa yang mendalam di hati Umi. Sebuah penyesalan, kerana merasa tak bisa selalu menjaga dan melindungimu. 

Umi ini memang lemah sayang, maka hanya kepada Allah yang Maha Besar saja, Umi menitipkanmu. Umi ini hanyalah manusia yang tidak sempurna sayang, maka maafkanlah jika Umi masih belum bisa menjadi Ibu yang baik bagimu. Maafkan Umi ya sayang…   

Nukilan bonda Hani Fatma yang telah sedikit sebanyak ditambah dan diolah Ummu Muhammad.

No comments:

Post a Comment